Rabu, 27 Februari 2013

[Part 6] FINDING THE SUSPECT




“Kak Ayuka??!!!” teriak kaget seseorang di depanku, bocah laki-laki itu tepatnya  Tanaka terkaget melihat kehadiranku. Aku hanya bisa tersenyum kikuk dan mereka malah berlari lebih kencang. 

“HEI! Kalian!! Jangan lari!” teriakku sambil berlari mengejar mereka.

Dan di café ini lah kami berada. Aku, Megumi dan Tanaka. Mereka  kupaksa untuk ikut denganku yang menandakan mereka bolos sekolah. Megumi benar-benar panik menyadari bahwa ia bolos sekolah. Gadis 14 tahun itu termasuk anak yang rajin dan patuh sekali.

Berbeda dengan bocah 8 tahun ini yang tengah menyesap jus alpukatnya sambil tersenyum, Tanaka termasuk anak yang nakal. 

“Jadi..” aku membuka suara “dimana Akira?” tanyaku to the point. Mereka berdua saling bertatapan dan menggeleng kompak. Aku kembali bertanya lagi, tapi mereka berdua masih terus bungkam.
“kalian tidak tau dimana dia?” tanyaku. 

Mereka menggeleng.

“jadi kalian tidak tinggal dengannya?”tanyaku lagi. Mereka hanya menggeleng. 

“aku akan berikan apapun yang kalian inginkan. APAPUN. Tapi beritahu aku dimana dia berada. Sepakat?” aku berusaha keras membujuk mereka. 

“Apapun?!” mata Tanaka tampak berbinar-binar. Aku tau sekali apa yang ia mau.Tanaka chan, kau pasti ingin beli komik samurai kyo full edition kan? Akira pasti melarangmu tapi aku akan membelikannya kalau kau beritahu dimana dia sekarang”
 
“oke! Deal! Onne chan, kau mau minta apa?” 

“hei! Onni chan akan marah pada kita” 

“hm kau yakin tidak akan menyesal menolak, megumi chan kau harus tau kalau aku punya…. Tadah! Tiket untuk belanja sepuasnya di Kyoto mall. Tidak mau niih?” ucapku sambil memasukkan lagi kartu belanja yang ku pegang. Secepat kilat, ia merebut kartu itu dari tanganku. Haha aku menang sekarang, teriakku dalam hati.

“jadi dimana Akira sekarang?” tanyaku lagi. Mereka tampak berfikir. 

“onni chan tinggal sendiri di Komae. Sementara kami berdua tinggal bersama paman”

Komae?!” pekikku kaget. 

“iya, onni chan sekolah di Hiroo High School” tutur Megumi

“Hiroo High School??!! Kalian tidak bohong?!” tanyaku setengah berteriak, mereka menatapku ngeri dan mengangguk kecil. Aku berteriak frustasi

“melelahkan… benar-benar melelahkan. Aku harus bolak balik lagi” omelku dalam hati.

“oke, sampai jumpa lagi tanaka chan dan megumi chan. Daah” pamitku

“onne chan bagaimana dengan hadiahnya? Komik?”

“iya iya besok ku antar. Sudah dulu ya daahh”

Hari sudah mulai siang, setelah membeli komik untuk Tanaka. Aku memilih pergi ke Kyoto Station. Saat ini benar-benar tidak boleh membuang waktu lagi, aku hanya punya dua hari lagi sebelum kembali ke Kyoto.  Aku menunggu kereta datang, memencet nomer yang sudah ku hafal. Menunggu sampai tersambung, 

“moshi moshi, ayah?” 

“ada apa ayuka?”

“ayaahh! Bagaimana bisa salah memberitahu informasi, Akira benar-benar ada di Komae bukan Shibuya”

“tapi tanaka dan megumi tinggal di Shibuya”

“iya mereka memang di Shibuya, tapi Akira tidak. Sepertinya dia berusaha menipuku”ucapku begitu saja. “menipunya? Ya ampun apa dia tahu aku mencarinya? Apa jangan jangan.. ayah, sudah dulu ya. Daahh”aku memutuskan sambungan telfon sementara ayah pasti bingung apa yang ku katakan.

“kazato? Apa dia..?” tanyaku pada diri sendiri, tapi masih ada yang ku ragukan. Seharusnya dia terus mengikutiku seperti waktu itu, tapi kenapa aku tidak merasakannya? Aku melirik ke kanan dan kiri, tidak ada yang mencurigakan. Hanya orang-orang yang mondar mandir menunggu kedatangan kereta atau baru turun dari kereta yang tiba. 

Aku memilih untuk ke toilet sembari menunggu kereta datang 10 menit lagi. Baru saja aku mau melangkahkan kaki keluar toilet,terdengar suara laki-laki yang tidak asing lagi. 

“Sepertinya dia akan pergi ke Komae. Apa yang akan kau lakukan, Kazato kun?” ucap seseorang di luar toilet. Aku mendengarkan seksama.

“ke Tachikawa ? aku rasa itu pilihan yang tepat. Menghindar darinya memang lebih baik. Kapan kau berangkat…….. besok? Oke baiklah…. Ya ya aku mengerti. Aku pastikan dia tidak akan tahu. Sampai jumpa” laki-laki itu menutup telfonnya. Aku keluar dari balik tembok itu dan benar saja aku melihat kazato yang membelangiku. Ia hendak pergi, langsung saja aku memanggilnya,

“kazato kun”. Laki-laki itu menghentikan langkahnya, terdiam. 


BERSAMBUNG

Senin, 25 Februari 2013

[Part 5] FINDING THE SUSPECT



DEG. Dari jauh, aku bisa mengenalinya. Sangat mengenalinya. Sosok yang sedang berjalan santai, mendekat ke arahku. 

“KAZATO!! Mau apa kau disini? HAH? Kenapa kau bisa ada disini?! Jawab pertanyaanku”teriakku kencang tanpa memperdulikan tatapan aneh orang-orang. Rasa kesal ku sudah naik ke ubun-ubun. Bagaimana bisa cowok kutu buku itu ada disini?

Aku sudah memelototinya dengan tatapan tak suka tapi dia malah menyengir tidak jelas. “hehe aku sedang sedikit berlibur” ucapnya dengan membentuk huruf V dengan tangannya, 

“berlibur? Lalu apa yang kau lakukan disini? Berkeliaran di kawasan sekolah kau bilang berlibur?” tanyaku to the point. Dia tampak bingung menjawabnya. Aku yakin kalau dia mendengar pembicaraan ayah denganku, dan dia memang bermaksud mengikutiku.

“kau mengikutiku kan?”tanyaku lagi. “aku benar-benar tidak suka orang yang mencampuri urusan orang lain. kalau kau juga tertarik dengan kasus ini, maka cari cara lain bukan malah mengikutiku”lanjutku tegas dan sedikit kejam mungkin tapi aku benci harus bersama dengan orang lain saat memecahkan kasus. Tapi Akira adalah pengecualian. 

Dia hanya mengangguk dan menghela nafas. Perlahan dia berjalan menjauh dariku, aku bernafas lega dan berusaha fokus mencari Akira. 

“eh?” 

aku bingung melihat tatapan orang-orang yang lewat dan mereka menertawakan aku. Ya ampun aku lupa kalau tadi berteriak-teriak, memalukan sekali, ucapku dalam hati. Aku menutup wajahku dengan masker, perutku sudah berbunyi karena aku belum sarapan, akhirnya aku memutuskan untuk membeli makanan dan berjalan-jalan di sekitar sekolah sampai mereka pulang. 


“kak, sepertinya aku ketahuan. Aku harus bagaimana? Apa dia tidak curiga?” tanya seseorang lewat ponsel tak jauh dari tempat seorang gadis berdiri tadi. Laki-laki itu masih bisa melihat siluit gadis itu yang tak lama berbelok di persimpangan jalan.
“haha aku melihat dia memarahimu. Sama sekali belum berubah. Pastikan saja kau gagalkan rencananya. Paham?”peintah seseorang di seberang sana.
“apa tidak apa-apa?”
“ini demi kebaikannya. Sudah ya, kelas sebentar lagi dimulai. Aku akan menelfonmu lagi” tutur orang tersebut memutuskan sambungan telfon. Laki-laki itu kemudian masuk ke dalam kelas.

Gadis itu terus menghentakkan kakinya, sambil melirik ke gerbang sekolah yang tadi pagi ia kunjungi. kemeja kotak-kotak dan celana gunung putihnya yang tadi ia beli sudah di pakai olehnya—ia sengaja menyamarkan diri agar tak ada yang mengenalinya dan lebih tepatnya menghindar dari Kazato yang terus mengikutinya. 

“kenapa ya kazato mengikutiku?” tanyanya pada diri sendiri, penasaran. 

Tak selang berapa lama, bel pulang berbunyi diikuti murid-murid yang berhamburan keluar sekolah.  Aku memusatkan penglihatanku ke arah mereka, menatap satu-satu murid laki-laki, tapi tak satupun aku bisa menemukan Akira. Lima belas menit aku berdiri tapi belum juga ku temukan dirinya. Apa mungkin dia tidak bersekolah disini ya? Apa mungkin di Shibuya? Ya ampun aku sudah sejauh ini, tapi tidak menemukan hasil apa-apa. 

Aku memutuskan untuk kembali ke Tokyo, aku rasa dia memang tidak disini. Tapi entah kenapa aku yakin sekali dia ada di Komae, pertemuanku dengan Kazato seakan bukti bahwa aku pergi ke tempat yang benar—aku tidak mengerti kenapa begitu, aku hanya yakin kalau Akira tinggal di Komae. 

“Akira kun, kau mau kemana?”

“Akira kun, hari minggu besok apakah kau sibuk?”

“Akira kun, ayo pulang bersamaku”

Aku terdiam mendengar nama itu. Akira. Aku membalikan badan—yang tadinya melangkah pulang menjadi menghadap segerombolan gadis yang berkumpul di satu titik, aku tidak bisa dengan jelas siapa yang tengah mereka rebutkan. Aku yakin mereka menyebut-nyebut nama Akira

Drrttt… Drrtttt… 

“aiisshh, siapa sih?” aku melirik ke arah ponselku, melihat nama ayah di layar ponsel dan mau tak mau harus menjawab telfon dari ayah sambil terus mengamati gadis-gadis—yang menyebut nama Akira. 

“yuka-chan? Ayah baru mendapat informasi tentang keberadaan Megumi Yamato” ucapnya sesaat setelah aku menerima telfonnya.

“mereka ada dimana? Komae?” 

“bukan, tapi di distrik Shibuya”

“Shibuya?”gumamku pelan.

“Akira kun!!!” teriak gadis gadis berisik itu. Aku melihat seorang laki-laki dengan kacamata tebal berlari menghindar dari mereka. Sekilas, aku berfikir itu Akira. Tapi Dia tidak suka memakai kacamata. Terlebih lagi, kenyataan bahwa mereka ada di Shibuya.

Aku mengurungkan niat untuk pulang. Sudah jam 4 sore, langit sudah mulai berwarna orange yang indah. Suasana sore hari memang selalu membuatku takjub. Aku memilih untuk duduk-duduk di taman dekat Komae High School sebelum pulang ke rumah bibi. 

Suara burung berkicau mengacaukan tidurku. Pagi mulai datang, terlalu cepat menurutku. Kupaksaan diriku untuk bangun, mencuci muka dan gosok gigi. Aku mengambil tas yang tadi malam ku letakkan begitu saja, berjalan keluar rumah. Memulai pencarian hari ini. Hiroo High School.

Hanya butuh sekitar 14 menit perjalanan dari Tokyo ke Shibuya. Aku mulai mencari apartemen yang ditempati oleh Akira dan kedua adiknya. Tidak butuh waktu lama untuk menemukannya, apartemen ini kurasa cukup terkenal. Bangunannya terlihat bagus dan sederhana. Aku menunggu di sebuah kursi di dekat halaman apartemen bercat abu-abu itu, menunggu sampai Akira dan kedua adiknya, Tanaka dan Megumi muncul. Jam 08.00. hmm sepertinya mereka..




“Tanaka!! Ayo cepat! Kita bisa telat!!"teriak seorang gadis sambil menarik bocah laki-laki yang berusaha memakai dasinya yang belum terpakai. Tanaka dan Megumi. Ya, itu mereka. Aku tersenyum senang, sambil berjalan di belakang mereka. Dengan topi dan kacamata tebal yang ku pakai ini mereka tidak akan mengenalku. 
 

“tapi, kemana Akira? Ya ampun kenapa aku malah mengikuti mereka, bukan menunggu Akira? Aiissh bodohnya” aku menggerutu kesal. 

“Kak Ayuka??!!!” teriak kaget seseorang di depanku, bocah laki-laki itu tepatnya   

Tanaka terkaget melihat kehadiranku. Aku hanya bisa tersenyum kikuk dan mereka malah berlari lebih kencang. 

BERSAMBUNG

Kamis, 21 Februari 2013

[Cerpen] Mysterious Place




“auww” 

Aku merintih kesakitan saat kepalaku rasanya membentur sesuatu yang keras. Perlahan aku membuka mata dan terbelalak kaget menatap ruangan yang asing bagiku. “dimana ini?”tanyaku bingung. Ruangan ini tampak sangat tak terawat, debu dimana-mana. 

Dari ekor mataku, aku bisa menangkap ada dua buah kursi dan satu meja yang mulai rapuh dan selebihnya ruangan ini kosong,hanya dihiasi debu dan sarang laba-laba yang memenuhi tiap sudut ruangan. Dan ada dua bua pintu di depan dan di sebelah aku terduduk, tepatnya sekitar 4 meter dariku, juga satu jendela kecil namun cukup membiarkan cahaya matahari menerangi ruangan ini sehingga tidak terlalu gelap. Kalau malam hari, mungkin tempat ini akan gelap gulita. 

Aku mendekati jendela tersebut,berjinjit untuk bisa melihat ke luar dan aku yakin sekarang aku berada di lantai… mungkin lebih dari lantai 2, aku bisa melihat permukaan tanah amat jauh dari tempatku berada sekarang. 

“sebenarnya dimana ini?”tanya ku pada diri sendiri. aku mendekat ke pintu pertama, membuka nya perlahan dan berharap tidak ada hal mengerikan di dalam sana. “euuhh.. kotor sekali”gumamku sambil terus menyusuri setiap inchi ruangan ini dengan mata cokelatku. Aku menatap jijik, saat melihat kecoa dan tikus yang berlarian seakan sedang bermain kejar-kejaran dan masuk ke belakang lemari kayu yang sudah usang. Ku simpulkan bahwa ruangan ini adalah kamar tidur setelah melihat ranjang dengan seprai yang berantakan dan binatang kecil sejenis serangga di atasnya. 

Buru-buru aku keluar,tidak tahan dengan bau ruangan itu yang menusuk penciumanku. Aku beralih ke pintu kedua, dan lagi-lagi berharap tidak akan ada apa-apa disana.
Baru saja aku akan memutar knop pintu ketika mendengar suara tembakan berkali-kali. Aku mengurungkan niatku,dan reflek mundur ke belakang,menjauh dari pintu itu.

 “ya tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?”ucapku dalam hati. 

Ketegangan mulai menjalar di seluruh tubuhku, tangan dan kaki ku mulai gemetar. Butuh waktu beberapa detik, untuk kembali menengkan diri dan mengatur kembali detak jantung yang sedari tadi berdetak sangat cepat akibat rasa takut. Aku mulai merasa bisa menguasai diri, dan ketegangan yang tadi menjalar cepat kini berubah menjadi rasa penasaran akan suara tembakan itu. 

Aku menghirup nafas dalam-dalam, dan mengeluarkannya dengan suara berat. “nicole,tenangkan dirimu. Kau harus tahu apa yang terjadi di luar. Jangan takut” aku terus mengulang kalimat itu, agar lebih tenang. Aku memutar knop dan mendorong pintu hingga terbuka lebar. Tidak ada siapa pun, suasana mencekam tadi tergantikan oleh kesunyian. 

“apa tadi cuma halusinasi ku ya?hahaha” tanganku tampak kotor akibat memegang knop pintu yang di selimuti debu tebal. Lalu,aku pun mengelapnya ke kemeja yang aku pakai sehingga sekarang pakaian ku yang tampak kotor. Aku menggerutu sebal, setengah menunduk ke bawah sambil terus menggosok-gosokkan tangan. Sedetik kemudian,aku bisa merasakan ada seseorang yang berdiri di depanku. 

Aku mulai mendongakkan kepala. Tangan laki-laki itu membekap mulutku saat aku baru saja akan berteriak. “diamlah”perintahnya dan sesaat kemudian, dia melepaskan bekapannya. 

“kau,nicole?” tanyanya dengan tegas. Aku menatapnya heran,

”dari.. dari mana kau tahu?”tanyaku ragu. 

Aku tidak menjawab pertanyaan yang ia lontarkan, tapi sepertinya dia yakin bahwa yang ia katakan benar.
“karena aku di tugaskan untuk menyelamatkanmu dari Martin O’llern dan anak buahnya. Perkenalkan namaku, Simon Quentin. Ayo, kita harus keluar dari tempat ini”ucapnya. 

Aku menatap wajahnya seksama, laki-laki itu tampak masih muda. Mungkin umurnya 20 tahun, 3 tahun lebih tua dariku. Dan sepertinya dia orang baik. Walaupun aku belum bisa sepenuhnya percaya padanya, Simon. 

“ini”dia melemparkan pistol ke arahku yang tengah melamun. Dengan cepat, aku menangkapnya dengan kedua tanganku. “gunakan saja. Aku masih punya satu lagi”ucapnya sebelum aku hendak bertanya padanya, seakan membaca fikiranku. Aku memang pernah latihan menembak,tapi itu sudah satu tahun yang lalu dan tanganku pasti akan kaku. Walaupun begitu,aku masih hafal teknik yang benar untuk menembak sasaran. 

“ayo” dia menyuruhku mengikutinya. “tunggu! Tadi kau bilang menyelamatkanku? Kau tahu kenapa aku ada di sini?” tanyaku yang masih di landa kebingungan. Sementara Simon malah menatapku heran, “kau tidak ingat memangnya?mereka berusaha menculikmu dan kau sembunyi di sini,dan sekarang tugasku adalah membawamu pulang dengan selamat. Jadi, sekarang lebih baik kita keluar”. Aku menyembunyikan rasa bingungku, dan berjalan mengikuti setiap langkahnya,menyusuri lorong-lorong yang hanya satu arah. Aku terus memainkan pistol dari Simon, “tunggu! Kita harus turun lewat tangga? Tidak ada lift?” tanyaku spontan yang di balas helaan nafas Simon. 

“memangnya kau fikir liftnya masih bisa di gunakan? Berhentilah mengomel kalau kau ingin selamat. Kau tahu? Kita ada di lantai 5 dan harus cepat keluar sebelum mereka melihat kita” aku mengangguk pelan mendengan perkataannya, berjalan gontai di belakangnya sementara Simon bersikap waspada setiap kali menuruni anak tangga. Aku mendengar samar-samar langkah kaki di belakangku melewati anak tangga yang sudah kami turuni. Sepertinya ada satu atau dua anak buahnya yang tengah berjalan ke arah mereka. 

“ Simon, aku merasa ada beberapa orang di atas kita. Kita harus cepat-cepat”bisikku ke arahnya,mempercepat langkah sementara Simon memerintahkanku untuk berjalan di depannya sementara ia di belakang, berjaga-jaga untuk menembak kalau anak buah Martin O’llern melihat mereka. 

“Lari”pinta Simon di belakangku. Aku semakin mempercepat langkah,menuruni setiap anak tangga dengan tergesa-gesa. Hampir saja, aku akan terpeleset kalau saja tidak berpegangan dengan kuat pada pegangan besi tangga itu.

DOORRR…..DOORRR…..DOORRR….

Kedua telingaku rasanya sakit mendengar suara dentuman tembakan berkali-kali. Gendang telingaku seakan ingin pecah akibat suara itu. Aku berhenti sejenak, menoleh ke belakang mendapati Simon berlari ke arahku. Anak buah Martin O’llern sudah terkapar tidak berdaya. Simon sangat hebat,batinku. 

Setelah beberapa menit kami menuruni anak tangga, akhirnya aku dan Simon sampai di lantai bawah. “pintu keluar” gumamku senang. aku melihat pintu kaca dengan ukuran cukup lebar, dan di penuhi debu. Bentuknya seperti pintu masuk pada hotel-hotel mewah pada umumnya. Hanya saja tampak buruk karena tak pernah digunakan lagi. Simon mencengkram lengan tangan kiriku saat aku hendak berjalan ke arah pintu tersebut. Aku menoleh ke arahnya, ia sedang tidak menatapku, sorot matanya tertuju ke depannya dan aku mengikuti kemana ia memandang. Dan ya tuhan! Tidak lebih dari 8 meter, sekelompok orang dengan tatapan menyeramkan tengah menatap ke arah mereka. Aku yakin, mereka yang di maksud oleh Simon. Tangan kananku terus menggenggam pistol dengan kuat, sementara otak ku sama sekali tidak bisa berfikir. Lari? Itu ide gila, hanya akan sia-sia. 

“maaf”ucap Simon di sampingku. Aku mengernyit tak mengerti maksud ucapannya.

“maafkan aku” ulangnya sekali lagi. 

Dan sedetik kemudian, dia mengarahkan pistol dan menembak dirinya sendiri. Cengkraman tangan Simon memudar, ia jatuh begitu saja dengan darah yang terus mengalir. Meninggalkan aku yang terbelalak kaget,tidak percaya akan apa yang ia lakukan. Seharunya aku tidak mempercayainya. Dia pengecut! Tubuhku semakin bergetar saat sekelompok orang itu mendekat, jarak kami hanya terpaut sekitar 5 meter. 

“ya tuhan,tolong selamatkan aku… aku mohon selamatkan aku, selamatkan aku tolonglah…”pintaku seraya memejamkan mata,tidak berani menatap ke depannya,terlalu mengerikan. “aku mohon, selamatkan aku”ucapku sungguh-sungguh. 

“NICOLE! APA YANG KAU LAKUKAN?KENAPA KAU TIDUR DI KELAS LAGI?!KENAPA KAMU TIDAK DISIPLIN SEKALI??? Temui ibu di kantor guru nanti!!” teriak seseorang mengagetkanku dan sukses membuatku terbangun

“ya ampun!jadi tadi hanya mimpi? Syukurlah….. haha” ujarku pelan sambil terus menghela nafas. Sementara guru matematika ku tengah melotot ke arahku, ini mungkin keempat kalinya aku tertangkap basah tidur di kelas dan point ku harus di kurangi lagi. Tapi, itu lebih baik daripada harus bertemu dengan Martin O’llern dan anak buahnya. Aku tersenyum lebar menatap guruku, tidak menghiraukan tatapan tajam darinya. Sementara seluruh siswa tertawa terbahak-bahak.

“aku mohon selamatkan aku, selamatkan aku tolonglah” ucap seseorang di belakangku,meniru kata-kata ku saat bermimpi tadi. Wajahku langsung berubah masam saat mendapati kelas semakin berisik, para siswa tertawa semakin kencang. “kalian semua!diamlah! kita lanjutkan pelajaran”

Tokk.. tokk.. 

Terdengar suara ketukan dari luar. Kami semua terdiam melihat siapa yang datang. “pak kepala sekolah, ada apa ya?” tanya guru matematika ku bingung mendapati kepala sekolah berdiri di depan kelas. “anak-anak hari ini akan ada wali kelas baru. Ayo masuk” ujar kepala sekolah sambil menengok ke luar ruangan sambil menggerakkan tangannya, isyarat agar orang itu masuk. 

“Simon?!” pekikku kaget. Cukup pelan tapi bisa terdengar oleh teman sebangkuku. Aku melongo tidak percaya akan siapa yang ada di depan kelasku. Aku menatapnya dari ujung kaki sampai kepalanya, mungkin hanya mirip, ucapku dalam hati. Tapi aku merasa dia benar-benar..

 “selamat pagi semua. Nama saya Simon Quenti, saya harap kalian bisa menerima saya dengan baik” ujarnya seraya membungkuk dan tersenyum ramah pada semua siswa.

“dia? Laki-laki itu memang simon…. Bagaimana bisa” teriakku dalam hati. Aku membulatkan mataku, kaget saat ia tengah tersenyum ke arah ku? “apa-apaan ini?”



-THE END-






 

Shining Like Pearl Template by Ipietoon Cute Blog Design