“auww”
Aku
merintih kesakitan saat kepalaku rasanya membentur sesuatu yang keras. Perlahan
aku membuka mata dan terbelalak kaget menatap ruangan yang asing bagiku. “dimana
ini?”tanyaku bingung. Ruangan ini tampak sangat tak terawat, debu dimana-mana.
Dari ekor
mataku, aku bisa menangkap ada dua buah kursi dan satu meja yang mulai rapuh
dan selebihnya ruangan ini kosong,hanya dihiasi debu dan sarang laba-laba yang
memenuhi tiap sudut ruangan. Dan ada dua bua pintu di depan dan di sebelah aku
terduduk, tepatnya sekitar 4 meter dariku, juga satu jendela kecil namun cukup
membiarkan cahaya matahari menerangi ruangan ini sehingga tidak terlalu gelap.
Kalau malam hari, mungkin tempat ini akan gelap gulita.
Aku mendekati jendela
tersebut,berjinjit untuk bisa melihat ke luar dan aku yakin sekarang aku berada
di lantai… mungkin lebih dari lantai 2, aku bisa melihat permukaan tanah amat
jauh dari tempatku berada sekarang.
“sebenarnya
dimana ini?”tanya ku pada diri sendiri. aku mendekat ke pintu pertama, membuka
nya perlahan dan berharap tidak ada hal mengerikan di dalam sana. “euuhh..
kotor sekali”gumamku sambil terus menyusuri setiap inchi ruangan ini dengan
mata cokelatku. Aku menatap jijik, saat melihat kecoa dan tikus yang berlarian
seakan sedang bermain kejar-kejaran dan masuk ke belakang lemari kayu yang
sudah usang. Ku simpulkan bahwa ruangan ini adalah kamar tidur setelah
melihat ranjang dengan seprai yang berantakan dan binatang kecil sejenis
serangga di atasnya.
Buru-buru aku keluar,tidak tahan dengan bau ruangan itu
yang menusuk penciumanku. Aku beralih ke pintu kedua, dan lagi-lagi berharap
tidak akan ada apa-apa disana.
Baru saja
aku akan memutar knop pintu ketika mendengar suara tembakan berkali-kali. Aku
mengurungkan niatku,dan reflek mundur ke belakang,menjauh dari pintu itu.
“ya tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?”ucapku
dalam hati.
Ketegangan mulai menjalar di seluruh tubuhku, tangan dan kaki ku
mulai gemetar. Butuh waktu beberapa detik, untuk kembali menengkan diri dan
mengatur kembali detak jantung yang sedari tadi berdetak sangat cepat akibat
rasa takut. Aku mulai merasa bisa menguasai diri, dan ketegangan yang tadi
menjalar cepat kini berubah menjadi rasa penasaran akan suara tembakan itu.
Aku
menghirup nafas dalam-dalam, dan mengeluarkannya dengan suara berat.
“nicole,tenangkan dirimu. Kau harus tahu apa yang terjadi di luar. Jangan
takut” aku terus mengulang kalimat itu, agar lebih tenang. Aku memutar knop dan
mendorong pintu hingga terbuka lebar. Tidak ada siapa pun, suasana mencekam
tadi tergantikan oleh kesunyian.
“apa tadi
cuma halusinasi ku ya?hahaha” tanganku tampak kotor akibat memegang knop pintu
yang di selimuti debu tebal. Lalu,aku pun mengelapnya ke kemeja yang aku pakai
sehingga sekarang pakaian ku yang tampak kotor. Aku menggerutu sebal, setengah
menunduk ke bawah sambil terus menggosok-gosokkan tangan. Sedetik kemudian,aku
bisa merasakan ada seseorang yang berdiri di depanku.
Aku mulai
mendongakkan kepala. Tangan laki-laki itu membekap mulutku saat aku baru saja
akan berteriak. “diamlah”perintahnya dan sesaat kemudian, dia melepaskan
bekapannya.
“kau,nicole?”
tanyanya dengan tegas. Aku menatapnya heran,
”dari.. dari mana kau tahu?”tanyaku
ragu.
Aku tidak menjawab pertanyaan yang ia lontarkan, tapi sepertinya dia
yakin bahwa yang ia katakan benar.
“karena aku
di tugaskan untuk menyelamatkanmu dari Martin O’llern dan anak buahnya.
Perkenalkan namaku, Simon Quentin. Ayo, kita harus keluar dari tempat
ini”ucapnya.
Aku menatap wajahnya seksama, laki-laki itu tampak masih muda.
Mungkin umurnya 20 tahun, 3 tahun lebih tua dariku. Dan sepertinya dia orang baik.
Walaupun aku belum bisa sepenuhnya percaya padanya, Simon.
“ini”dia
melemparkan pistol ke arahku yang tengah melamun. Dengan cepat, aku
menangkapnya dengan kedua tanganku. “gunakan saja. Aku masih punya satu
lagi”ucapnya sebelum aku hendak bertanya padanya, seakan membaca fikiranku. Aku
memang pernah latihan menembak,tapi itu sudah satu tahun yang lalu dan tanganku
pasti akan kaku. Walaupun begitu,aku masih hafal teknik yang benar untuk
menembak sasaran.
“ayo” dia
menyuruhku mengikutinya. “tunggu! Tadi kau bilang menyelamatkanku? Kau tahu
kenapa aku ada di sini?” tanyaku yang masih di landa kebingungan. Sementara
Simon malah menatapku heran, “kau tidak ingat memangnya?mereka berusaha
menculikmu dan kau sembunyi di sini,dan sekarang tugasku adalah membawamu
pulang dengan selamat. Jadi, sekarang lebih baik kita keluar”. Aku
menyembunyikan rasa bingungku, dan berjalan mengikuti setiap
langkahnya,menyusuri lorong-lorong yang hanya satu arah. Aku terus memainkan
pistol dari Simon, “tunggu! Kita harus turun lewat tangga? Tidak ada lift?”
tanyaku spontan yang di balas helaan nafas Simon.
“memangnya
kau fikir liftnya masih bisa di gunakan? Berhentilah mengomel kalau kau ingin
selamat. Kau tahu? Kita ada di lantai 5 dan harus cepat keluar sebelum mereka
melihat kita” aku mengangguk pelan mendengan perkataannya, berjalan gontai di
belakangnya sementara Simon bersikap waspada setiap kali menuruni anak tangga.
Aku mendengar samar-samar langkah kaki di belakangku melewati anak tangga yang
sudah kami turuni. Sepertinya ada satu atau dua anak buahnya yang tengah
berjalan ke arah mereka.
“ Simon, aku merasa ada beberapa orang di atas kita.
Kita harus cepat-cepat”bisikku ke arahnya,mempercepat langkah sementara Simon
memerintahkanku untuk berjalan di depannya sementara ia di belakang,
berjaga-jaga untuk menembak kalau anak buah Martin O’llern melihat mereka.
“Lari”pinta
Simon di belakangku. Aku semakin mempercepat langkah,menuruni setiap anak
tangga dengan tergesa-gesa. Hampir saja, aku akan terpeleset kalau saja tidak berpegangan
dengan kuat pada pegangan besi tangga itu.
DOORRR…..DOORRR…..DOORRR….
Kedua
telingaku rasanya sakit mendengar suara dentuman tembakan berkali-kali. Gendang
telingaku seakan ingin pecah akibat suara itu. Aku berhenti sejenak, menoleh ke
belakang mendapati Simon berlari ke arahku. Anak buah Martin O’llern sudah
terkapar tidak berdaya. Simon sangat hebat,batinku.
Setelah
beberapa menit kami menuruni anak tangga, akhirnya aku dan Simon sampai di
lantai bawah. “pintu keluar” gumamku senang. aku melihat pintu kaca dengan
ukuran cukup lebar, dan di penuhi debu. Bentuknya seperti pintu masuk pada
hotel-hotel mewah pada umumnya. Hanya saja tampak buruk karena tak pernah
digunakan lagi. Simon mencengkram lengan tangan kiriku saat aku hendak berjalan
ke arah pintu tersebut. Aku menoleh ke arahnya, ia sedang tidak menatapku,
sorot matanya tertuju ke depannya dan aku mengikuti kemana ia memandang. Dan ya
tuhan! Tidak lebih dari 8 meter, sekelompok orang dengan tatapan menyeramkan
tengah menatap ke arah mereka. Aku yakin, mereka yang di maksud oleh Simon.
Tangan kananku terus menggenggam pistol dengan kuat, sementara otak ku sama
sekali tidak bisa berfikir. Lari? Itu ide gila, hanya akan sia-sia.
“maaf”ucap
Simon di sampingku. Aku mengernyit tak mengerti maksud ucapannya.
“maafkan
aku” ulangnya sekali lagi.
Dan sedetik kemudian, dia mengarahkan pistol dan
menembak dirinya sendiri. Cengkraman tangan Simon memudar, ia jatuh begitu saja
dengan darah yang terus mengalir. Meninggalkan aku yang terbelalak kaget,tidak
percaya akan apa yang ia lakukan. Seharunya aku tidak mempercayainya. Dia
pengecut! Tubuhku semakin bergetar saat sekelompok orang itu mendekat, jarak
kami hanya terpaut sekitar 5 meter.
“ya tuhan,tolong selamatkan aku… aku mohon
selamatkan aku, selamatkan aku tolonglah…”pintaku seraya memejamkan mata,tidak
berani menatap ke depannya,terlalu mengerikan. “aku mohon, selamatkan
aku”ucapku sungguh-sungguh.
“NICOLE!
APA YANG KAU LAKUKAN?KENAPA KAU TIDUR DI KELAS LAGI?!KENAPA KAMU TIDAK DISIPLIN
SEKALI??? Temui ibu di kantor guru nanti!!” teriak seseorang mengagetkanku dan
sukses membuatku terbangun
“ya ampun!jadi
tadi hanya mimpi? Syukurlah….. haha” ujarku pelan sambil terus menghela nafas.
Sementara guru matematika ku tengah melotot ke arahku, ini mungkin keempat
kalinya aku tertangkap basah tidur di kelas dan point ku harus di kurangi lagi.
Tapi, itu lebih baik daripada harus bertemu dengan Martin O’llern dan anak
buahnya. Aku tersenyum lebar menatap guruku, tidak menghiraukan tatapan tajam
darinya. Sementara seluruh siswa tertawa terbahak-bahak.
“aku mohon
selamatkan aku, selamatkan aku tolonglah” ucap seseorang di belakangku,meniru
kata-kata ku saat bermimpi tadi. Wajahku langsung berubah masam saat mendapati
kelas semakin berisik, para siswa tertawa semakin kencang. “kalian
semua!diamlah! kita lanjutkan pelajaran”
Tokk..
tokk..
Terdengar
suara ketukan dari luar. Kami semua terdiam melihat siapa yang datang. “pak
kepala sekolah, ada apa ya?” tanya guru matematika ku bingung mendapati kepala
sekolah berdiri di depan kelas. “anak-anak hari ini akan ada wali kelas baru. Ayo
masuk” ujar kepala sekolah sambil menengok ke luar ruangan sambil menggerakkan
tangannya, isyarat agar orang itu masuk.
“Simon?!”
pekikku kaget. Cukup pelan tapi bisa terdengar oleh teman sebangkuku. Aku
melongo tidak percaya akan siapa yang ada di depan kelasku. Aku menatapnya dari
ujung kaki sampai kepalanya, mungkin hanya mirip, ucapku dalam hati. Tapi aku
merasa dia benar-benar..
“selamat pagi semua. Nama saya Simon Quenti,
saya harap kalian bisa menerima saya dengan baik” ujarnya seraya membungkuk dan
tersenyum ramah pada semua siswa.
“dia?
Laki-laki itu memang simon…. Bagaimana bisa” teriakku dalam hati. Aku
membulatkan mataku, kaget saat ia tengah tersenyum ke arah ku? “apa-apaan ini?”
-THE END-

0 komentar:
Posting Komentar