Kamis, 21 Februari 2013

[Cerpen] Mysterious Place




“auww” 

Aku merintih kesakitan saat kepalaku rasanya membentur sesuatu yang keras. Perlahan aku membuka mata dan terbelalak kaget menatap ruangan yang asing bagiku. “dimana ini?”tanyaku bingung. Ruangan ini tampak sangat tak terawat, debu dimana-mana. 

Dari ekor mataku, aku bisa menangkap ada dua buah kursi dan satu meja yang mulai rapuh dan selebihnya ruangan ini kosong,hanya dihiasi debu dan sarang laba-laba yang memenuhi tiap sudut ruangan. Dan ada dua bua pintu di depan dan di sebelah aku terduduk, tepatnya sekitar 4 meter dariku, juga satu jendela kecil namun cukup membiarkan cahaya matahari menerangi ruangan ini sehingga tidak terlalu gelap. Kalau malam hari, mungkin tempat ini akan gelap gulita. 

Aku mendekati jendela tersebut,berjinjit untuk bisa melihat ke luar dan aku yakin sekarang aku berada di lantai… mungkin lebih dari lantai 2, aku bisa melihat permukaan tanah amat jauh dari tempatku berada sekarang. 

“sebenarnya dimana ini?”tanya ku pada diri sendiri. aku mendekat ke pintu pertama, membuka nya perlahan dan berharap tidak ada hal mengerikan di dalam sana. “euuhh.. kotor sekali”gumamku sambil terus menyusuri setiap inchi ruangan ini dengan mata cokelatku. Aku menatap jijik, saat melihat kecoa dan tikus yang berlarian seakan sedang bermain kejar-kejaran dan masuk ke belakang lemari kayu yang sudah usang. Ku simpulkan bahwa ruangan ini adalah kamar tidur setelah melihat ranjang dengan seprai yang berantakan dan binatang kecil sejenis serangga di atasnya. 

Buru-buru aku keluar,tidak tahan dengan bau ruangan itu yang menusuk penciumanku. Aku beralih ke pintu kedua, dan lagi-lagi berharap tidak akan ada apa-apa disana.
Baru saja aku akan memutar knop pintu ketika mendengar suara tembakan berkali-kali. Aku mengurungkan niatku,dan reflek mundur ke belakang,menjauh dari pintu itu.

 “ya tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?”ucapku dalam hati. 

Ketegangan mulai menjalar di seluruh tubuhku, tangan dan kaki ku mulai gemetar. Butuh waktu beberapa detik, untuk kembali menengkan diri dan mengatur kembali detak jantung yang sedari tadi berdetak sangat cepat akibat rasa takut. Aku mulai merasa bisa menguasai diri, dan ketegangan yang tadi menjalar cepat kini berubah menjadi rasa penasaran akan suara tembakan itu. 

Aku menghirup nafas dalam-dalam, dan mengeluarkannya dengan suara berat. “nicole,tenangkan dirimu. Kau harus tahu apa yang terjadi di luar. Jangan takut” aku terus mengulang kalimat itu, agar lebih tenang. Aku memutar knop dan mendorong pintu hingga terbuka lebar. Tidak ada siapa pun, suasana mencekam tadi tergantikan oleh kesunyian. 

“apa tadi cuma halusinasi ku ya?hahaha” tanganku tampak kotor akibat memegang knop pintu yang di selimuti debu tebal. Lalu,aku pun mengelapnya ke kemeja yang aku pakai sehingga sekarang pakaian ku yang tampak kotor. Aku menggerutu sebal, setengah menunduk ke bawah sambil terus menggosok-gosokkan tangan. Sedetik kemudian,aku bisa merasakan ada seseorang yang berdiri di depanku. 

Aku mulai mendongakkan kepala. Tangan laki-laki itu membekap mulutku saat aku baru saja akan berteriak. “diamlah”perintahnya dan sesaat kemudian, dia melepaskan bekapannya. 

“kau,nicole?” tanyanya dengan tegas. Aku menatapnya heran,

”dari.. dari mana kau tahu?”tanyaku ragu. 

Aku tidak menjawab pertanyaan yang ia lontarkan, tapi sepertinya dia yakin bahwa yang ia katakan benar.
“karena aku di tugaskan untuk menyelamatkanmu dari Martin O’llern dan anak buahnya. Perkenalkan namaku, Simon Quentin. Ayo, kita harus keluar dari tempat ini”ucapnya. 

Aku menatap wajahnya seksama, laki-laki itu tampak masih muda. Mungkin umurnya 20 tahun, 3 tahun lebih tua dariku. Dan sepertinya dia orang baik. Walaupun aku belum bisa sepenuhnya percaya padanya, Simon. 

“ini”dia melemparkan pistol ke arahku yang tengah melamun. Dengan cepat, aku menangkapnya dengan kedua tanganku. “gunakan saja. Aku masih punya satu lagi”ucapnya sebelum aku hendak bertanya padanya, seakan membaca fikiranku. Aku memang pernah latihan menembak,tapi itu sudah satu tahun yang lalu dan tanganku pasti akan kaku. Walaupun begitu,aku masih hafal teknik yang benar untuk menembak sasaran. 

“ayo” dia menyuruhku mengikutinya. “tunggu! Tadi kau bilang menyelamatkanku? Kau tahu kenapa aku ada di sini?” tanyaku yang masih di landa kebingungan. Sementara Simon malah menatapku heran, “kau tidak ingat memangnya?mereka berusaha menculikmu dan kau sembunyi di sini,dan sekarang tugasku adalah membawamu pulang dengan selamat. Jadi, sekarang lebih baik kita keluar”. Aku menyembunyikan rasa bingungku, dan berjalan mengikuti setiap langkahnya,menyusuri lorong-lorong yang hanya satu arah. Aku terus memainkan pistol dari Simon, “tunggu! Kita harus turun lewat tangga? Tidak ada lift?” tanyaku spontan yang di balas helaan nafas Simon. 

“memangnya kau fikir liftnya masih bisa di gunakan? Berhentilah mengomel kalau kau ingin selamat. Kau tahu? Kita ada di lantai 5 dan harus cepat keluar sebelum mereka melihat kita” aku mengangguk pelan mendengan perkataannya, berjalan gontai di belakangnya sementara Simon bersikap waspada setiap kali menuruni anak tangga. Aku mendengar samar-samar langkah kaki di belakangku melewati anak tangga yang sudah kami turuni. Sepertinya ada satu atau dua anak buahnya yang tengah berjalan ke arah mereka. 

“ Simon, aku merasa ada beberapa orang di atas kita. Kita harus cepat-cepat”bisikku ke arahnya,mempercepat langkah sementara Simon memerintahkanku untuk berjalan di depannya sementara ia di belakang, berjaga-jaga untuk menembak kalau anak buah Martin O’llern melihat mereka. 

“Lari”pinta Simon di belakangku. Aku semakin mempercepat langkah,menuruni setiap anak tangga dengan tergesa-gesa. Hampir saja, aku akan terpeleset kalau saja tidak berpegangan dengan kuat pada pegangan besi tangga itu.

DOORRR…..DOORRR…..DOORRR….

Kedua telingaku rasanya sakit mendengar suara dentuman tembakan berkali-kali. Gendang telingaku seakan ingin pecah akibat suara itu. Aku berhenti sejenak, menoleh ke belakang mendapati Simon berlari ke arahku. Anak buah Martin O’llern sudah terkapar tidak berdaya. Simon sangat hebat,batinku. 

Setelah beberapa menit kami menuruni anak tangga, akhirnya aku dan Simon sampai di lantai bawah. “pintu keluar” gumamku senang. aku melihat pintu kaca dengan ukuran cukup lebar, dan di penuhi debu. Bentuknya seperti pintu masuk pada hotel-hotel mewah pada umumnya. Hanya saja tampak buruk karena tak pernah digunakan lagi. Simon mencengkram lengan tangan kiriku saat aku hendak berjalan ke arah pintu tersebut. Aku menoleh ke arahnya, ia sedang tidak menatapku, sorot matanya tertuju ke depannya dan aku mengikuti kemana ia memandang. Dan ya tuhan! Tidak lebih dari 8 meter, sekelompok orang dengan tatapan menyeramkan tengah menatap ke arah mereka. Aku yakin, mereka yang di maksud oleh Simon. Tangan kananku terus menggenggam pistol dengan kuat, sementara otak ku sama sekali tidak bisa berfikir. Lari? Itu ide gila, hanya akan sia-sia. 

“maaf”ucap Simon di sampingku. Aku mengernyit tak mengerti maksud ucapannya.

“maafkan aku” ulangnya sekali lagi. 

Dan sedetik kemudian, dia mengarahkan pistol dan menembak dirinya sendiri. Cengkraman tangan Simon memudar, ia jatuh begitu saja dengan darah yang terus mengalir. Meninggalkan aku yang terbelalak kaget,tidak percaya akan apa yang ia lakukan. Seharunya aku tidak mempercayainya. Dia pengecut! Tubuhku semakin bergetar saat sekelompok orang itu mendekat, jarak kami hanya terpaut sekitar 5 meter. 

“ya tuhan,tolong selamatkan aku… aku mohon selamatkan aku, selamatkan aku tolonglah…”pintaku seraya memejamkan mata,tidak berani menatap ke depannya,terlalu mengerikan. “aku mohon, selamatkan aku”ucapku sungguh-sungguh. 

“NICOLE! APA YANG KAU LAKUKAN?KENAPA KAU TIDUR DI KELAS LAGI?!KENAPA KAMU TIDAK DISIPLIN SEKALI??? Temui ibu di kantor guru nanti!!” teriak seseorang mengagetkanku dan sukses membuatku terbangun

“ya ampun!jadi tadi hanya mimpi? Syukurlah….. haha” ujarku pelan sambil terus menghela nafas. Sementara guru matematika ku tengah melotot ke arahku, ini mungkin keempat kalinya aku tertangkap basah tidur di kelas dan point ku harus di kurangi lagi. Tapi, itu lebih baik daripada harus bertemu dengan Martin O’llern dan anak buahnya. Aku tersenyum lebar menatap guruku, tidak menghiraukan tatapan tajam darinya. Sementara seluruh siswa tertawa terbahak-bahak.

“aku mohon selamatkan aku, selamatkan aku tolonglah” ucap seseorang di belakangku,meniru kata-kata ku saat bermimpi tadi. Wajahku langsung berubah masam saat mendapati kelas semakin berisik, para siswa tertawa semakin kencang. “kalian semua!diamlah! kita lanjutkan pelajaran”

Tokk.. tokk.. 

Terdengar suara ketukan dari luar. Kami semua terdiam melihat siapa yang datang. “pak kepala sekolah, ada apa ya?” tanya guru matematika ku bingung mendapati kepala sekolah berdiri di depan kelas. “anak-anak hari ini akan ada wali kelas baru. Ayo masuk” ujar kepala sekolah sambil menengok ke luar ruangan sambil menggerakkan tangannya, isyarat agar orang itu masuk. 

“Simon?!” pekikku kaget. Cukup pelan tapi bisa terdengar oleh teman sebangkuku. Aku melongo tidak percaya akan siapa yang ada di depan kelasku. Aku menatapnya dari ujung kaki sampai kepalanya, mungkin hanya mirip, ucapku dalam hati. Tapi aku merasa dia benar-benar..

 “selamat pagi semua. Nama saya Simon Quenti, saya harap kalian bisa menerima saya dengan baik” ujarnya seraya membungkuk dan tersenyum ramah pada semua siswa.

“dia? Laki-laki itu memang simon…. Bagaimana bisa” teriakku dalam hati. Aku membulatkan mataku, kaget saat ia tengah tersenyum ke arah ku? “apa-apaan ini?”



-THE END-






0 komentar:

Posting Komentar

 

Shining Like Pearl Template by Ipietoon Cute Blog Design